disukai pria dicintai wanita

Berbicara masalah seks dengan bermartabat

Sunday, August 13, 2006

BIDADARI YANG PERAWAN

(cerpen)

Cuaca tampak begitu gerah dan panas. Mungkin hujan akan mengguyur kota sebentar lagi. Jakarta memang aneh. Di kota ini perilaku cuaca sepertinya tak bisa ditebak. Jika di daerah-daerah banyak padi yang mengering karena musim kemarau mulai tiba, Jakarta justru masih senang bermain-main dengan air. Di beberapa tempat masih suka terjadi banjir temporal yang membuat kemacetan Jakarta semakin semrawut. Seperti halnya di perkampungan tempatku tinggal yang tak jauh dari pinggiran bantaran sebuah sungai. Sebentar-sebentar hujan. Sebentar-bentar banjir. Jeleknya, sampah-sampah dari kali itu sering meluap dan berserakan di pinggiran jalan menuju rumahku.

Aku tahu Jakarta memang kejam. Ia akan tega menikam siapa saja yang datang cuma bermodalkan nekad tanpa persiapan yang matang. Sudah tak terhitung banyaknya yang menjadi korban keganasan kota metropolis ini. Tapi tujuanku datang ke Jakarta ini sebenarnya bukan untuk mengadu peruntungan seperti halnya tujuan para kaum urban dari masyarakat pedesaan.

Aku memang berasal dari desa, tapi aku tak perlu memaksakan diri ke kota bila hanya ingin mencari pekerjaan yang layak bagiku. Di desa, keluargaku adalah pengusaha kaya yang punya industri kerajinan mebel yang menjanjikan bagi masa depanku.

Tujuan utamaku datang ke Jakarta adalah untuk mencari calon istriku yang kabur dari desa menjelang akad pernikahan kami. Perempuan bernama Mayang itu mendadak lenyap tanpa jejak beberapa jam sebelum kami mengucap ikrar sebagai suami istri yang sah. Tentu saja seluruh undangan penduduk desa menjadi panik, terutama pihak keluarganya. Mereka tidak ada yang tahu kemana perginya sang calon mempelai wanita.

Aku sendiri sebenarnya sudah mendapatkan firasat buruk ini sebelumnya. Beberapa hari sebelum menikah, Mayang pernah menangis di depanku sambil mengaku dirinya sudah tidak perawan lagi. Di adat desaku, nilai keperawanan sangat suci dan disakralkan. Seorang perempuan yang diketahui sudah tidak perawan lagi, maka ia tidak berhak untuk menikah dengan seorang perjaka seperti aku. Ia hanya bisa menjadi istri seorang duda. Kalau ketentuan ini dilanggar, maka sesepuh desa akan mengeluarkan kutukan dan mengusir perempuan itu beserta keluarganya dari desa.

Mayang mengaku keperawanannya telah direnggut paksa Gento, jawara kampung yang sudah beristri tiga. Ia tak ingin membohongiku dan menerima kutukan desa. Karena itu, ia ingin membatalkan pernikahan kami dan mengadu nasib ke Jakarta –sebuah kota yang diyakini orang-orang kampungku sebagai surganya perempuan-perempuan yang sudah tidak perawan.

Tentu saja aku tidak bisa menerima hal ini. Aku terlanjur mencintai Mayang. Aku terus memaksanya untuk tidak membatalkan pernikahan kami. Aku siap menanggung semua resiko yang akan terjadi. Termasuk kutukan pernikahan kami.

Ketika ada kabar Gento mati dibunuh sesama preman, semangatku untuk pergi ke Jakarta menjemput Mayang semakin tak terbendung. Dengan kematian si Gento, aku berharap dapat membujuk Mayang untuk naik ke pelaminan. Toh, yang tahu peristiwa busuk itu hanya aku, Mayang, dan Gento. Orang-orang adat tidak akan ada yang mengutuk bila salah satu dari kami tidak membocorkannya. Apalagi nasib baik tampaknya berpihak pada kami dengan kematian Gento.

Tapi aku telah salah menilai Jakarta. Kota ini telah membelokkan hatiku sejak pertama kali aku menginjaknya. Tujuanku mulai goyah saat melihat ribuan bidadari bertebaran di jalan-jalan. Dibandingkan dengan Mayang yang dulu menjadi bunga desa di kampung, mereka tampak jauh lebih berkilau, seperti kupu-kupu yang menghiasi kota.

Hatiku terbelah. Perasaanku terhadap Mayang mulai meredup. Aku mulai terobsesi mendapatkan salah satu bidadari yang dimiliki Jakarta ini. Tapi aku tidak ingin pengalaman pahitku dengan Mayang terulang. Aku hanya ingin mendapatkan yang bidadari-bidadari yang masih "pure". Bidadari yang perawan!

Kata orang, Jakarta itu akan membunuh pendatang yang tidak memiliki keahlian apa-apa. Tapi beruntunglah aku punya bekal untuk bertahan hidup melawan kejamnya kota ini. Sedikit pengetahuanku tentang ramuan tradisional untuk keharmonisan rumah tangga ternyata sangat diminati masyarakat di kota ini. Didukung dengan bakat dagang warisan orang tuaku, konsumenkupun mengalir seperti air. Jadi aku tak perlu kuatir lagi kalau hanya sekedar bertahan hidup.

Suatu hari datang seorang lelaki di tempat aku menggelar dagangan. Lelaki yang kelihatan gagah dan perlente ternyata mengalami disfungsi kejantanan. Ia ingin menjajal ramuanku, tapi ia minta bukti. Ia menantang aku untuk memuaskan istrinya dulu. Aku menganggap ini permintaan gila. Tapi lelaki itu mengatakan apa yang dilakukannya itu sudah merupakan hal yang biasa terjadi di kota besar ini. Seorang suami sudah biasa menyewa lelaki lain untuk memuaskan hasrat istrinya yang liar.

Semenjak itu aku tak hanya berjualan obat kuat. Tapi juga melayani berbagai panggilan untuk menservis wanita-wanita yang bermasalah di ranjang. Tidak hanya itu, dengan menggunakan samaran profesi sebagai tukang pijat panggilan aku banyak menerima order birahi dari wanita-wanita kaya yang kesepian. Bahkan, ada beberapa ABG yang memakai jasaku untuk belajar bercinta. Semuanya berlangsung dengan mulus tanpa hambatan. Keinginanku untuk mencicipi keindahan bidadari-bidadari kota itu kini sudah jauh lebih dari cukup.

Tiba-tiba aku teringat Mayang.

Entah di sudut kota yang mana kini dia terdampar. Jakarta terlalu luas untuk diobok-obok. Barangkali dia kini sudah bahagia dengan rumah tangganya yang baru atau malah sibuk bermain-main dengan pria berhidung belang di kota yang ganas ini. Ah,.. forget it! Lebih baik aku fokus pada obsesi baruku. Mencari bidadari yang perawan sebagai pengganti Mayang.

Pernah suatu ketika aku bertemu seorang wanita yang begitu anggun. Imajinasiku pun menari-nari liar saat melihatnya duduk sendiri di sebuah angkutan kota. Mungkinkah ini bidadari yang kucari-cari itu?

Aku mencoba mencari celah untuk bisa mengenal dia. Responpun gayung bersambut. Kami berbincang-bincang sampai akrab. Hingga akhirnya aku nekad bertanya, “Apakah Anda percaya bahwa delapan puluh persen gadis cantik yang menginjak remaja di kota ini sudah tidak perawan?”

Ia menggeleng ragu-ragu untuk menjawab rumor itu.

“Berarti Anda masih perawan?” tanyaku penasaran.

“Apakah pertanyaan itu penting?” jawabnya dengan muka agak gugup.

“Tentu, penting bagi saya! Karena jika Anda memang masih perawan, saya mau mengajak Anda tidur dengan saya untuk membuktikannya.”

“Gila. Emang gue cewek apaan???” Tiba-tiba sebuah mendarat tepat di pipiku. Aku hanya menggerutu. Apakah pertanyaanku itu salah? Mengapa ia begitu sensitif ditanya soal keperawanannya? Apakah dia hanya perempuan munafik?

Di lain waktu, naluriku pernah benar-benar tak terkendali. Seorang gadis belasan tahun yang melintas di depan rumahku terlihat begitu menggiurkan dengan seragam putih abu-abunya. Tanpa berpikir panjang aku pun memburunya hingga jantungku berpeluh turun naik. Setelah berhasil menyergap gadis itu aku memaksanya untuk membuktikan keperawanannya di sebuah rumah kosong.

Tentu saja gadis keturunan yang berkulit langsat itu berontak. Berteriak sekencang-kencangnya. Dalam sekejab massapun mengepung. Beruntung aku segera diamankan aparat sebelum ribuan bogem mentah mendarat di tubuhku. Akupun dijebloskan di sel selama 3 minggu atas tujuan percobaan perkosaan.

Aku hanya menyesal karena tidak berhasil membuktikan keperawanan gadis bau kencur itu.

Tiga tahun berlalu. Penelusuranku untuk mencari bidadari yang perawan ini rasanya sia-sia. Semua perempuan yang mengaku perawan tidak ada yang mau membuktikan keperawanannya di hadapanku. Sementara semua bidadari yang pernah jatuh kepelukanku sudah terbuka segelnya.Aku merasa lelah dalam pencarian ini. Jika sudah demikian aku teringat kembali sosok Mayang.

Bagi orang lain keperawanan mungkin tidak lagi mejadi begitu sakral. Tetapi tidak bagiku. Kuprasahkan langkah-langkahku berjalan di antara dua pilihan. Tetap mengharap Mayang. Atau terus mencari bidadari yang perawan. Apakah ada di antara para pembaca salah satu bidadari yang perawan yang aku cari-cari?

oo000oo

0 Comments:

Post a Comment

<< Home