disukai pria dicintai wanita

Berbicara masalah seks dengan bermartabat

Saturday, August 12, 2006

KUTUNGGU JANDAMU

(cerpen)

Malam itu aku merasakan bulan seolah terbelah menjadi dua. Aku tak menyangka jalinan asmara yang telah kurajut selama tiga tahun dengan gadis tetangga desa itu harus berakhir dengan pahit. Cinta tulus yang telah disemaikan selama ini ternyata pupus begitu saja oleh egoisme dari pihak keluarga sang gadis.

Orang tua gadis itu memang masih kolot. Seperti orang tua tradisional pada umumnya, mereka menginginkan Melati, anak gadisnya itu, menikah dengan seorang pegawai mapan. Selama ini mereka melihat pekerjaanku sebagai seorang seniman lukis tidak akan menjanjikan masa depan yang cerah bagi anak mereka. Karena alasan itu mereka kemudian menjodohkan Melati dengan Bruno, seorang pegawai yang bekerja di instasi pemerintahan daerah. Orang tua kedua belah pihak pun telah saling sepakat untuk melangsungkan pernikahan anak mereka secepatnya.

“Bagaimana, Kang?” tanya Melati pada malam perpisahan itu.

“Terserahlah. Kalau memang itu sudah menjadi keputusanmu dan keluargamu, aku akan mundur. Aku tahu diri, kok,” jawabku dengan bibir yang begitu pahit.

“Tapi.....”

“Sudahlah jangan cengeng. Jika kita memang masih berjodoh, aku akan setia menunggumu jandamu,” lanjutku dengan mata sembab menahan air mata. Sebagai lelaki, aku pantang untuk menumpahkan air mata di depan perempuan yang kusayangi. Ia sendiri merasakan malam itu adalah malam yang paling menyesakkan dalam hidupnya.

Menunggu jandamu? Bukankah kata-kata itu berarti mendoakan mereka supaya cerai? Seriuskah aku mengatakan hal itu? Bagaimana kalau benar-benar terjadi, apakah aku siap menerima Melati kembali? Kata-kata itu terus mengiang di telingaku sejak pertemuan terakhir malam itu.

Pernikahan Melati dengan Bruno yang berlangsung dua bulan setelah lelaki itu melamarnya, membuat hatiku terasa gerah untuk berlama-lama tinggal di desa. Aku merasa sudah tidak punya harga diri lagi sebagai lelaki di kampung ini. Kemana-mana mulut-mulut tetangga seolah sedang menggunjingkanku. Seorang sarjana seni rupa yang harus menelan kekalahan pahit soal perempuan dari seorang lulusan SMU yang beruntung bisa menjadi pegawai pemerintahan. Karena itu, aku memutuskan untuk pergi merantau ke Jakarta mengadu nasib dengan menjual bakat seniku. Aku ingin membuktikan kepada keluarga Melati bahwa aku juga bisa punya pekerjaan yang mapan seperti suami Melati.

Di tanah rantau aku beruntung bisa bergabung dengan sebuah komunitas seni masyarakat urban yang survive hidup di Jakarta. Melalui pameran-pameran yang rutin diselenggarakan komunitas inilah aku bisa memperkenalkan dan berhasil menjual karya-karya lukisanku. Dalam sebulan aku bisa menjual dua sampai tiga lukisan. Satu lukisan yang terjual cukup untuk menutup biaya hidup di Jakarta selama sebulan. Dari sini sedikit demi sedikit aku mulai bisa mengumpulkan modal untuk berumah tangga.

Kini, setelah lima tahun merantau, aku merasa sudah saatnya aku memikirkan rencana untuk menikah. Tapi kenangan yang bercampur kekecewaan pada cinta selama ini telah membuat persepsiku terhadap perempuan banyak berubah. Entah mengapa, aku merasa lebih sreg untuk menikah dengan seorang janda daripada perawan. Bagiku, sosok janda memiliki daya tarik tersendiri yang tidak dimiliki oleh perawan. Bukan hanya secara biologis, tetapi juga secara kimawi. Aku merasakan seperti ada zat-zat kimia tertentu yang dimiliki oleh setiap janda yang membuat pikiranku menjadi tenang dan bahagia saat dekat dengannya. Mungkin itulah yang dinamakan reaksi kimia dalam cinta, di mana setiap orang bisa punya pengalaman berbeda dengannya.

Tapi mendapatkan seorang janda yang bisa dijadikan istri pun ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Berbagai usaha telah kucoba, baik pendekatan langsung dengan janda-janda yang ada di sekitar kontrakanku sampai mengontak biro jodoh di surat kabar. Namun, belum satupun yang membuahkan hasil. Pernah aku mendapat tanggapan ketika mengirim surat ke biro jodoh yang memuat profil janda di surat kabar. Kontak pertama lewat surat berlangsung mulus. Tapi ketika dilakukan pertemuan lewat darat, sang janda agaknya kecewa melihat penampilanku yang jauh dari harapannya. Janda muda itu tampaknya meragukan kemampuan seorang seniman seperti aku bisa menghidupi dirinya dengan dua anak. Aku maklum. Memang, masih banyak perempuan yang memandang sebelah mata terhadap masa depan profesi pelukis yang digelutinya.

***

“Om, minta lukisannya dong!” Tiba-tiba seorang gadis kecil membangunkanku dari lamunan di halaman galeri. Sudah setengah jam tanganku memegang kuas, tapi pikiranku belum juga terfokus. Kanvas lukisan yang ada di depan masih berhias goresan-goresan abstrak. Belum menunjukkan sebagai sebuah lukisan yang utuh.

Galeri yang berada di perumahan pinggir kota ini sebenarnya cukup nyaman dan asri untuk menuangkan ide dalam melukis. Halamannya luas dan banyak pohon-pohon yang rindang. Di seberangnya terdapat sungai yang membatasi wilayah perkampungan penduduk. Jalanan di depannya bukanlah jalan besar sehingga tidak banyak mobil atau angkutan umum yang berlalu lalang menyebarkan polusi. Bagaimanapun aku dan teman-teman bersyukur masih bisa mendapatkan tempat seperti ini di tengah hiruk pikuk kesibukan Jakarta. Namun, ide memang tak selamanya bisa dipaksakan untuk muncul. Kali ini aku merasa otak sedang buntu, tidak mampu menemukan ide yang pas dengan suasana hati.

“Kamu mau dilukis?” tanyaku memandang ke arah gadis kecil yang lugu itu. Kulitnya yang legam karena sengatan matahari dan pakaiannya yang tampak kumal. Pasti anak ini berasal dari perkampungan kumuh di seberang kali itu.

Gadis kecil itu mengangguk gembira.

Segera kubenahi kanvas lukisanku yang sedari tadi melompong. Melihat kepolosan anak kecil itu, inspirasiku langsung tersemburat. Objek lukisan yang sedari tadi masih mengambang kini telah menemukan bidikannya. Dari sorot matanya, aku dapat menangkap bahwa gadis ini penuh cerita luka dalam hidupnya. Sebuah objek kehidupan yang menarik untuk digali lewat kanvas cat minyaknya.

“Orang tuamu tinggal di mana?” tanyaku sambil melukis.

“Emak tinggal di seberang kali itu, tapi ayah tidak tahu,” jawabnya polos.

“Lho kok??”

“Iya Om... Soalnya waktu Ani masih TK, Emak membawa Ani pergi meninggalkan Ayah. Ayah dan Emak sering berantem gara-gara Ayah mau kawin lagi. Sekarang Ani sudah kelas dua SD, jadi udah nggak ingat lagi rumah ayah.”

Keluguan anak itu telah membuat hatiku trenyuh. Aku teringat masa-masa kecil dulu. Banyak teman-temanku yang kini hidupnya berantakan hanya karena orang tuanya bercerai. Kasihan para janda yang ditinggal suaminya itu. Hidupnya pasti penuh perjuangan.

Aku melihat gadis kecil itu seperti anak yang sudah kehilangan raut keceriaannya. Tampangnya seperti seorang yang letih dan tertekan. Mungkin waktu bermainnya habis buat membantu ibunya mencari uang. Bukankah anak-anak di perkampungan itu sebagian besar hidup menjadi anak jalanan untuk menyambung hidup?

Hampir dua jam, lukisan itu pun selesai.

“Kok, malah mirip foto Emak waktu kecil, ya, Om?” kata gadis kecil beringsut heran saat melihat hasil lukisannya.

Mirip emaknya? Aku mengamati kembali hasil goresan kuasku itu. Astaga. Ternyata benar, karakter yang muncul berbeda dengan karakter anak yang menjadi objek lukisannya itu. Aku sendiri bingung kenapa hasilnya seperti itu. Mungkinkah cerita pilu gadis kecil itu telah mempengaruhi bawah sadarku saat melukis? Aku melihat goresan-goresan kuasnya tidak lagi naturalis tapi berubah menjadi ekspresionis, penuh tekanan-tekanan emosi.

“Tapi nggak apa-apa, Om. Biar nanti kukasihkan Emak saja. Pasti Emak senang melihatnya,” kata gadis kecil itu sambil menimang-nimang lukisan yang aku berikan.

“Ani.....Ani....” tiba-tiba dari kejauhan tampak seorang perempuan muda memanggil-manggil nama gadis kecil itu.

“Saya di sini, Mak!” teriak gadis kecil itu melambaikan tangannya.

Perempuan itu segera berlari menghampiri anaknya.

“Anak nakal, sudah dibilang jangan pergi jauh-jauh. Ayo pulang!” bentak perempuan itu sambil menarik tangan anaknya menjauh dari halaman galeri. Gaya perempuan itu benar-benar cuek. Ia seolah tidak peduli dengan keberadaanku yang berdiri tak jauh darinya.

Melihat sosok perempuan itu, sense of widow-ku tiba-tiba bereaksi. Dari penampilannya, perempuan itu sepertinya masih sebaya denganku. Tubuhnya sintal dan singset, seolah menyamarkan penampilannya sebagai janda beranak satu. Sayangnya sebagian besar paras wajahnya tertutup oleh rambutnya yang acak-acakan. Dan kulitnya yang putih pun terlihat kurang terawat. Tapi semua itu tidak menurunkan sex appeal perempuan itu di mataku.

Aku termangu memandangi polah perempuan yang masih berdiri mengomeli anaknya yang belum mau beranjak itu.

Perempuan itu lalu merebut lukisan yang didekap anaknya. Ekspresi wajahnya tampak terkejut saat memadang gambar lukisan yang dipegangnya. Ia sengaja menyingkapkan untaian rambut yang menutupi wajahnya supaya dapat memandangi lukisan itu lebih fokus. Aku nyengir sambil mencoba mencuri pandang ke arah wajahnya. Lalu perempuan itu perlahan-lahan memalingkan wajahnya kepadaku.

Bibirnya bergetar saat melihatku.

“Kang Aldi??”

“Melati??”

0 Comments:

Post a Comment

<< Home